Senin, 17 Agustus 2009

Imaji Merah Putihku


Tanggal 17 Agustus ketika orang memperingati hari lahirnya Indonesia sebagai negara yang merdeka, ingatan saya menerawang jauh menggapai masa di waktu saya duduk di sekolah dasar (SD). Saya begitu kagum saat upacara penaikan bendera dilakukan setiap hari Senin, dengan diiringi suara paduan suara menyanyikan lagu Indonesia Raya, bendera itu dinaikan pelan-pelan oleh tiga petugas pengibar bendera. Maka dalam benak saya bergemuruh bayangan dahsyat tentang ke-Indonesia-an, bahwa Merah Putih itu merupakan Indonesia yang besar adil dan sejahtera dengan masyarakatnya yang makmur. Tergambar dalam syair lagu Indonesia Raya, begitu indah, dan menentramkan membuat bergetar takjub sekaligus terharu. Kemudian terbayang juga bahwa Merah Putih itu merupakan seorang Ibu Pertiwi yang sekali lagi anggun tempat dimana anak-anaknya menikmati hangatnya sebuah keluarga besar. Sebuah rumah yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa, pulaunya banyak, dan lautnya luas. Sebuah lukisan menyejukkan hati dan jiwa Hidup begitu indah jauh dari kesan kekurangan. Terkenang juga mengenai heroisme para pejuang yang bertaruh nyawa untuk satu kata “Kemerdekaan”, yang berarti bebas dari penindasan kaum penjajah, bebas menentukan nasib sendiri.

Era itu merupakan sebuah fase yang di kemudian hari saya tersadar tidak sepenuhnya benar tapi juga tidak seluruhnya salah. Ketika saya tengok gugusan pulau yang menjadi bagian republik ini, maka nyatalah bayangan luasnya wilayah negri ini, ketika saya teringat sebuah bait lagu “nenek moyangku seorang pelaut” maka nyatalah bayangan saya tentang laut Indonesia dan sebutan negri bahari, ketika saya ingat sejarah bahwa dulu Indonesia merupakan macan Asia, maka nyatalah bayangan saya akan kebesaran bangsa ini. Intinya banyak sekali rasa bangga yang tumbuh dalam dada akan bangsa ini, akan tanah air ini, kecintaan seorang anak negri terhadap tanah kelahirannya.

Tapi seiring berjalannya waktu, lambat laun gambaran itu mulai hilang, meski tidak musnah sama sekali. Saya berpikir mungkinkah kemampuan saya untuk membayangkan sudah agak berkurang. Mungkinkah bahwa saya dulu terlalu asyik dengan dunia imajinasi saya dan terlempar jauh dari kenyataan. Atau benturan dengan kenyataan membuat saya tidak lagi bisa bermain dengan imajinasi Merah Putih ketika SD dulu. Kenyataan bahwa sebenarnya masih banyak kekurangan di sana – sini. Ketimpangan yang memunculkan jurang pemisah antar anggota keluarga bangsa, begitu rumit untuk dirunut apa penyebab kusutnya keadan ini. Faktor dari luarkah atau dari dalamkah semua itu bermula. Carut marut wajah bangsa ini setelah 64 tahun merdeka memunculkan letupan kecil “benarkah kemerdekaan itu telah berada di sini, di tanah bangsa ini”. Jangan – jangan kata Merdeka! yang dulu diperjuangkan para pahlawan sekarang tergeser atau sengaja digeser maknanya menjadi bebas memanfaatkan yang ada untuk kepentingan sempit, tidak lagi sebagai sebuah keluarga besar.

Sekedar menengok ke belakang, bangsa ini pernah mengalami masa pendudukan kaum asing dalam penjajahan dengan kurun waktu yang tidak bisa dibilang sebentar, sejarah mencatat sekitar 3,5 abad dalam masa pendudukan Belanda, di susul Jepang. Maka perlukah kurun waktu yang sama (3.5 abad) untuk mengejar ketertinggalan dengan bangsa / negara lain, katakanlah tetangga dekat di seberang sana?

Saya teringat seorang pelukis bernama Dede Eri Supriya yang pernah membuat lukisan berjudul “Yang Menindas dan Yang Tertindas”. Pada lukisannya tersebut tertuang sebuah suasana orang yang menggencet wajah orang lain dibawahnya, begitu bertumpuknya figur orang yang menggencet dan tergencet itu sehingga ekspresi wajah terlihat sangat tersiksa, tapi anehnya baik figur yang menggencet dan tergencet itu adalah figur yang sama. Ini menjadi semacam refleksi bagi saya akan keadaan Indonesia saat ini, benarkah sekarang terdapat dua jenis Indonesia, yaitu Indonesia yang menindas dan Indonesia yang tertindas.

Negara dan bangsa menjadi sesuatu yang perlu direnungkan kembali maknanya. Mungkin bukan sekedar sekumpulan orang, mungkin juga bukan sekedar institusi birokrasi, mungkn tidak juga sekadar segugusan pulau, mungkin bukan lagi sekedar simbol – simbol kenegaraan semata. Mungkin seharusnya seperti bayangan saya waktu SD dulu, imaji merah putihku. Agar almarhum W.R Supratman dari “sana” melihat syair yang ia gubah menjadi kenyataan. Selamat ulang tahun kemerdekaan Indonesiaku yang ke 64 tahun.