Selasa, 07 Juli 2009

*SAYANGI DIRIMU

Apakah yang membuat sebuah iklan sabun mandi –khususnya sabun kecantikan- menarik untuk dilihat?

Sependapatkah anda jika yang membuat menarik adalah bintang iklan tersebut, yang kebanyakan adalah wanita dengan predikat cantik?

Penampilan warna kulit para bintang iklan sabun kecantikan tersebut adalah putih, setidaknya hal inilah yang hendak disampaikan oleh pengiklan. Bahwa dengan memakai sabun yang diiklankan maka konsumen akan menjadi seperti bintang iklan tersebut, yaitu cantik, putih dan disukai banyak orang. Sebagai sebuah rangkaian aktifitas dagang maka iklan berfungsi antara lain menanamkan ke benak audience (penonton iklan) mengenai hal ihwal produk yang diperdagangkan, sehingga mempengaruhi pikiran audience untuk melakukan tindakan membeli produk tersebut, garis besarnya seperti itu.

Iklan tersebut memiliki banyak ruang yang bisa digali. Salah satunya adalah idealisasi putih yang selalu menjadi topik utama dalam iklan tersebut, yang kemudian berkembang lebih jauh menjadi idealisasi putih bersih bersinar, menjadi pusat perhatian banyak orang, lebih menarik dipandang, lebih punya tempat di mata banyak orang. Singkatnya audience digiring pada sebuah stereotip bahwa wanita yang cantik ideal adalah seperti apa yang diiklankan tersebut.

Pertanyaanya ialah bagaimana jika iklan tersebut ditonton oleh, katakanlah orang yang memang tidak putih (secara genetika memang tidak berpigmen kulit putih)? Ada dua kemungkinan yang akan terjadi, pertama iklan tersebut bagi si audience ini tidaklah berpengaruh, karena ia melihat bahwa sebagus atau seatraktif apapun kata-kata dan tampilan yang ada dalam iklan tersebut tak lebih dari sebuah rekayasa obsesi. Yaitu sebuah upaya agar audience mempunyai obsesi untuk menjadi putih agar lebih bisa dikatakan wanita yang cantik ideal. Untuk audience seperti ini, dia tetap pada kemandiriannya sebagai individu yang bebas, dan tidak terdoktrin iklan.

Yang kedua, akan sangat berbeda jika audience tidak atau belum memiliki pembacaan kritis terhadap iklan sabun kecantikan tersebut, maka kemungkinan yang terjadi adalah si audience akan terobsesi kepada stereotip cantik putih yang di idealkan oleh iklan sabun tersebut, dan jika dia tidak atau sulit memenuhi idealisasi putih kemungkinan yang lain akan muncul yaitu ketidaknyamanan pada tubuh sendiri hingga akan melakukan apa saja untuk menjadi seperti yang ideal tersebut.

Safrina Noorman dalam kata pengantarnya untuk buku Becoming White, Representasi Ras, Kelas, Feminitas dan Globalitas dalam Iklan Sabun ( diterbitkan oleh Jalasutra) menulis yang intinya, bahwa selama audience mampu mendeteksi adanya penggiringan kepada stereotip tertentu, dan ia sadar sebagai pemilih yang mandiri maka iklan sabun kecantikan tidaklah menjadi masalah, tetapi jika cantik ideal yang ada dalam iklan sabun itu menjadi satu-satunya opsi bagi pembaca yang lalu menjadikan opsi itu sebagai target yang (mungkin) irasional, maka di sinilah masalah baru akan muncul.

Jadi bagaimanapun upaya kreator iklan untuk membuat upaya komunikasi tentang produk tersebut, akan menjadi mentah ketika berhadapan dengan audience yang telah memiliki banyak referensi mengenai bagaimana memilih produk sesuai dengan standar yang dia butuhkan.

*Judul tersebut diambil dari slogan untuk sebuah produk kecantikan kulit, khususnya kaum hawa

Kamis, 02 Juli 2009

dua kata


“Belum dan sudah”, cukup sering saya mendengar kata-kata ini. Setiap kali terlibat dengan perbincangan dengan siapapun. Efek dari dua kata tersebut terhadap psikis seseorang ternyata cukup beragam tergantung kata ikutan yang berada di belakangnya. Juga tergantung seberapa hebat seseorang mampu mengendalikan diri. Beberapa efek yang bisa terjadi, kebanyakan juga terdiri dari tautan dua kata yang seringkali bertolak belakang, sedih senang, susah gembira, dan lain-lain, meskipun ada juga yang tidak berefek apa-apa atau biasa saja, kembali kepada seberapa hebat seseorang mengendalikan dirinya

Saya mengambil sepenggal kalimat “kamu sudah selesai sedang aku belum selesai”, maka andaikata penggalan kalimat ini terjadi dalam sebuah suasana ujian dimana waktu pengerjaan soal tinggal hitungan menit, saya membayangkan efek apa saja yang akan menghinggapi para peserta ujian tersebut. Bagi yang sudah selesai tentu saja akan lega, dan bagi yang belum kemungkinan akan panik

Dua kata tersebut ternyata mempunyai efek lain ketika saya mengambil semacam kata kunci yaitu “waktu”, lalu saya dapati bahwa saya tergolong masih banyak berada pada level kata “belum”, saya tidak tahu apakah ini hanya sekedar perasaan yang muncul saat saya bertemu dengan teman lama, yaitu teman masa SMP. Meskipun pertemuan hanya sebatas facebook, tapi alangkah banyak pencapaian yang “sudah” didapat oleh teman saya itu, level “sudah” yang ada pada teman saya itu antara lain, sudah menikah, sudah punya anak, sudah punya rumah, padahal rasanya baru kemarin ternyata waktu berbilang 10 tahun lebih. Jujur saya menjadi bertanya dalam hati, apa yang terjadi dengan saya sehingga sampai saat ini masih juga berada pada level kata “belum”.

Suatu ketika saya menonton sebuah film animasi berjudul Kung Fu Panda, ada sebuah adegan yang cukup membuat saya sedikit terhibur, yaitu adegan di bawah pohon persik saat tokoh Master Shifu dan tokoh Master Oogway berdebat mengenai tokoh Po ( Panda yang dipilih Oogway sebagai Dragon Warrior untuk menghadapi Tai Lung ). Master Shifu ngotot bahwa Po bukanlah Dragon Warrior dan tak akan pernah menjadi Dragon Warrior, kemudian dengan ringan Master Oogway menjawab sambil menunjuk pada pohon persik “lihatlah pohon ini, aku tak bisa membuatnya mengembang sesuai keinginanku, tak juga bisa membuatnya berbuah sebelum waktunya…..”. Meskipun begitu Master Shifu masih membantah “tapi ada beberapa hal yang bisa kita kuasai, aku bisa menguasainya ketika buah hendak jatuh, dan aku bisa mengatur di mana menebar benih..”. Kemudian dijawab Master Oogway “ya, tapi apapun yang kau lakukan benih itu akan tumbuh menjadi pohon persik, kau mungkin mengharapkan apel atau jeruk, tetap saja persik…”.

Yang dapat saya ambil dari percakapan itu ialah adalah kata- kata Master Oogway yaitu: jika “belum waktunya” maka sesuatu itu tidak akan sampai pada saya. Setidaknya cukuplah untuk sementara hal ini mendamaikan hati. Saya juga tidak pernah tahu kapankah “waktu” itu akan tiba, sebab yang bisa dilakukan hanyalah sebatas menduga atau belajar meyakini. Memang hal itu adalah sebuah pertempuran batin yang tak kunjung selesai dan seringkali melelahkan.

Hingga pada saat saya berjalan – jalan ke sebuah toko buku, bukan untuk membeli buku hanya sekedar membaca beberapa buku yang menarik menurut saya. Kemudian tangan saya meraih sebuah buku semacam catatan – catatan dari seorang tokoh –kalau tidak salah- pangeran dari Mataram yang memilih hidup sebagai petani. Ki Ageng Suryomentaraman namanya.

Bahasan dalam buku itu tak lain adalah buah pikir sang pangeran. Salah satu yang cukup menarik untuk disimak adalah, bahwa dalam mengarungi hidup, manusia selalu mengalami susah dan senang. Andaikata seseorang berpendapat bahwa ia akan senang jika “sudah” menjadi seperti apa yang diharapkannya dan akan dilanda sedih jika “belum” menjadi apa yang diharapknnya, maka sang pangeran justru berpendapat lain, bahwa keadaan suasana hati akan senang sebentar saja lalu setelah itu akan susah lagi. Karena hampir bisa dipastikan ketika seseorang “sudah” mencapai apa yang ia harapkan, maka akan muncul lagi keinginan dari sebuah harapan baru yang terkadang membuat seseorang harus segera berlari cepat mewujudkannya. Kira-kira begitulah ritme hidup, saya sekali lagi tertegun akan pencapaian yang “sudah” diraih kawan-kawan, saudara-saudaraku. Terimakasih Tuhan.