Jangan – jangan saya turut andil dalam apa yang disebut sebagian masyarakat sebagai timbunan sampah visual. Pikiran tersebut kadang muncul dalam otak saya, saat berlangsung kampanye negri di ini. Ketika tiba – tiba di tiap sudut
Pendapat yang terakhir ini layak untuk menjadi bahan renungan, setidaknya bagi saya yang dulu pernah menyusuri rimba ilmu mengenai hal tersebut. Bermula dari desain komunikasi visual, sebuah upaya berkomunikasi melalui media visual, dimana baliho, poster, spanduk, banner dll adalah salah satu bagian yang menjadi perbincangan. Pada titik ini proses untuk membuat sebuah poster saja harus melalui jalan yang boleh dikatakan berliku, mulai dari mikirin konsep, pendekatan visual, proses perancangan dan kemudian print out (secara garis besar begitu) sampai kemudian rencana penempatannya, dengan tujuan apa yang hendak dikomunikasikan bisa tercapai tapi juga tidak meninggalkan kaidah etis dan estetis.
Ketika musim kampanye tiba, proses kerja yang tersebut di atas seakan mengalami lompatan yang jauh. Perebutan ruang penempatan media promosi terkadang menjadi hal yang lebih penting dari sekedar proses kerja di balik munculnya sebuah poster. Maka tak pelak, tumpah ruahlah segala bentuk media promosi itu dari pinggir jalan sampai pojok – pojok gang, dari sekedar tiang bambu yang dipancangkan pada pohon sampai kenekatan memasang pada tower, dari bundaran tengah kota sampai gapura kampung, dari kaus yang di pakai orang sampai stiker yang nempel di kaca belakang angkot, heboh sekali saya pikir, maklum jumlah partai memang banyak
Wajar jika kemudian ada masyarakat yang justru jengah dengan keadaan itu, dimana – mana banyak “penampakan” (begitu guyonan yang muncul), kemudian muncul kesimpulan bahwa kesemrawutan dari media promosi itu tak lebih dari sampah visual. Dari sini saya jadi berpikir, jangan – jangan saya ikut andil dalam munculnya sampah visual itu, waduh gimana nih !!!! meskipun tidak satupun dari media promosi itu buatan saya, tapi sebagai orang yang pernah belajar tentang hal itu, saya cukup mengkhawatirkan juga. Tidak sekedar sampah visual karena jumlah dan penempatannya yang hampir dimana – mana, ada lagi yang jadi pikiran saya, ketika musim kampanye berlalu, semua media promosi itu telah hilang dari pandangan warga
Mungkinkah, ini bisa menjadi pemikiran bersama bagi siapa saja agar meminimalisir munculnya sampah visual. Hmmm, saya membayangkan, bagaimana jadinya ya kalau MMT (salah satu nama bahan untuk digital printing) diganti dengan kain serat pohon pisang……..???????? sebuah mimpi kecil untuk dunia yang semakin rapuh, mungkinkah kawan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar