Wahai jiwaku, hendak kemanakah engkau kini, membawa aku. Kamu tahu aku bertanya pada raga yang bergelayut ini, sanggupkah mengikutimu selalu kemanapun kau ingin? Wahai jiwaku, terkadang aku pikir kau laksana anak kecil yang terus saja rewel saat keinginannya belum tercapai, dan aku risih juga mendengarnya. Wahai jiwaku, terkadang aku temui kau seperti halnya pertapa yang begitu tenang saat banyak sekali datang cobaan, dan aku begitu kagum akan keteduhannya. Wahai jiwaku, pada titik mana kau akan memberhentikan segala bentuk pencarian, ataukah memang buatmu tidak ada titik, sebab segalanya kau bilang adalah perjalanan, dan aku begitu heran dengan liku – likunya. Adakah kamu adalah milikku, yang seharusnya mengikutiku, ataukah kamu memang satu entitas yang sama sekali bebas?
Wahai hati ,sang raja kerajaan batinku, mengapa engkau melepaskan makhluk bernama kesedihan, sehingga rongga dadaku sesak, dan mataku sontak berkaca – kaca, sedang aku sendiri tidak mengharapkan makhuk itu hadir menemaniku. Wahai hati, sang raja kerajaan batinku, di saat lain, pintu gerbang engkau buka dan keluarlah darinya, makhluk kemarahan, begitu dahsyat polah tingkahnya, dan dadaku terasa meledak, tulangnya berhamburan menjelma menjadi pisau – pisau runcing menghujam kearah sasaran yang dinginkan si makkhluk itu, sedang aku begitu sering tak berdaya menghadapi kobaran apinya. Wahai hati, sang raja kerajaan batinku, engkau juga mempunyai sebuah goa di sudut sempit, di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar