Selasa, 27 Oktober 2009

pisah ranjang


Seorang teman tampak keheranan ketika saya tidak membawa kamera foto pada sebuah perhelatan carnaval beretajuk Solo Batik Carnival yang digelar di sepanjang jalan utama kota Solo beberapa bulan yang lalu, padahal menurut teman saya itu saya termasuk penghobi fotografi. Dengan ringan saya menjawab bahwa saya sedang pisah ranjang dengan dunia fotografi, alias saya lagi tidak ingin bersentuhan dulu dengan dunia yang satu itu, setidaknya untuk beberapa saat. Kamera saya sudah lama beristirahat dalam almari, dan tidak lagi menemani dalam tiap gerak langkah dan gerak mata saya. Kenapa saya tadi bilang bahwa sedang pisah ranjang, ya karena kekasih pertama saya adalah Yashica (merek kamera saya he2). Kami pernah mengalami sejarah yang cukup menakjubkan. Banyak peristiwa yang kami alami berdua, dia menjadi mata saya saat ada momen yang ingin saya abadikan, dia menjadi laboratorium ketika banyak sekali objek yang ingin saya tampilkan bukan sebagai sebuah objek semata melainkan ada “pemaknaan” khusus. Dia menjadi teman curhat ketika pernah saya menempuh jarak yang lumayan jauh hanya untuk menghabiskan satu frame negative film (ketika hunting/ berburu foto saya lupa membawa stock negatife film). Dia menemani saya bertandang di studio fotografi milik dedengkot fotografi Indonesia yaitu Darwis Triadi, waktu itu di Jalan Raden Saleh, Cikini Jakarta Pusat, juga di studio seorang fotografer handal Ferry Ardianto di daerah Tebet Jakarta Selatan.

Negatife film, barangkali beberapa tahun kedepan benda ini akan menghilang dari permukaan bumi, dan hanya menjadi pengisi sejarah fotografi. Era sekarang telah diganti dengan teknologi digital fotografi yang tidak lagi membutuhkan benda tersebut.

Kembali pada acara carnaval itu. Ketertarikan saya tidak lagi pada perhelatan carnaval itu, melainkan pada banyaknya penonton yang membawa DSLR dengan lensa yang panjang mirip pipa paralon, saya tidak tahu mereka dari kalangan pers atau bukan , yang pasti ada kekaguman muncul, lalu saya bergumam betapa generasi sekarang sangat dimudahkan dengan terciptanya teknologi digital pada fotografi. Dengan sekali memencet tombol dan klik maka preview foto bisa langsung dilihat pada sebuah layar LCD (liquid crystal display) yang berada di punggung kamera, jika dirasa jelek maka tinggal dihapus dan mengulangi memotret lagi. Kemudahan ini yang tidak bisa didapat ketika menggunakan kamera yang berbasis pada negatife film (kamera analog), karena jika terjadi kesalahan saat memotret, berarti membuang satu frame negatife film.

Perbandingan analog (kamera berbasis negatife film) dan digital (DSLR) sempat memenuhi pikiran saya, kekurang praktisan, dan kesulitan saat memakai kamera analog dibanding dengan DSLR memberi simpulan awal (tapi ragu juga) bahwa di situlah letak eksklusifitas dari sebuah karya foto hasil jepretan kamera analog, sekali lagi merujuk pada anatomi kamera analog yang tidak memiliki fasilitas preview foto (kesalahan dalam memotret tidak bisa dihapus). Sehingga seorang fotografer harus benar – benar pandai dalam perhitungan teknis agar bisa menghasilkan karya foto yang bagus dan meminimalisir kesalahan pada waktu pemotretan

Simpulan awal saya tadi mendapatkan pencerahan dengan pendapat Darwis Triadi (dalam sebuah tayangan di televisi), ketika itu ada yang berpendapat kalau fotografi digital tidak ada seninya. Jawaban dari Darwis Triadi cukup bagus juga, yaitu bahwa fotografi itu adalah permasalahan cahaya. Kamera analog atau DSLR hanya semata alat, jika tidak ada cahaya maka tidak ada fotografi. Artinya selama masih ada cahaya maka tidak masalah memakai kamera analog atau DSLR..

Pada tahun 2005 di Yogyakarta saya bertemu dengan seorang seniman fotografi, saya mendapatkan asupan gizi lagi, yaitu berupa perluasan pengertian fotografi yang tidak hanya sebuah imaji dari hasil jepretan kamera foto semata, sebagaimana pengertian fotografi pada umumnya. Seniman itu ( Angki Purbandono dari komunitas ruang mess56, mengatakan bahwa sebuah karya fotografi bisa dihasilkan dari beberapa alat selama alat itu memiliki prinsip kerja cahaya. Sebutan karya foto bisa dihasilkan dari scanner, enlarger, mesin fotokopi, capture dari DVD/ VCD dan itu sah sebagai karya fotografi. Pada saat itu saya cukup heran juga, tapi tidak mengapa, pandapat itu memang masuk akal juga. Contohnya fotogram, sebuah karya foto yang tidak dihasilkan dari kamera DSLR melainkan dari enlarger, atau pinhole camera yang menghasilkan karya foto dari kaleng bekas.

Maka jika sekarang ada revolusi teknologi digital fotografi itu hanya semata mempermudah, tapi prinsip dasar fotografi tetap sama yaitu melukis dengan cahaya Kuncinya adalah “man behind the gun”, orang yang berada di balik setiap kamera itu, apapun mereknya. Hanya saja terdapat nilai lebih buat orang yang pernah mengalami masa fotografi dengan kamera analog lalu berpindah ke kamera DSLR, jika dibandingkan dengan orang yang sama sekali tidak mengalami fase analog, yaitu kesempatan terlibat dalam dua fase perubahan teknologi fotografi. Ah saya jadi rindu fotografi, tunggu ya sayang suatu saat kita bertemu lagi

1 komentar:

  1. Hallo. Balas kunjungan nih. Kami di Jurusan Pendidikan Seni Rupa, FBS-UNDIKSHA, malah sengaja mengajak mahasiswa untuk mengenal kamera pinhole. Menarik juga bagi mereka. Cuma sayang proses cetak yang ribet membuat mahasiswa menjadi malas-malasan. Mungkin hanya sejumlah mahasiswa saja yang mau bersungguh-sungguh mendalami bidang pengolahan kamera purba ini.

    BalasHapus