Selasa, 27 Oktober 2009

wisata ke PKAN7




Kali ini saya berwisata ke PKAN (Pekan Komik dan Animasi Nasional). Event akbar dua tahunan yang untuk gelaran tahun 2009 ini sudah menginjak periode ketujuh. Diadakan di TBJT dari 22-25 Oktober 2009. Sebuah petualangan yang membuat saya seperti menemukan oase di tengah “kesibukan”, seperti ada jeda yang memantikkan kembali semangat untuk berkarya rupa, ketika saya memasuki Galeri besar TBJT (Taman Budaya Jawa Tengah) dulu bernama TBS (Taman Budaya Surakarta) tersaji banyak sekali hasil karya dari para komikus dengan berbagai gaya gambar.

Komik Kompilasi “Hantu-hantu Kota

Sejenak mengitari area pameran, langkah kaki sampai pada stan milik MulyaKarya ,belakangan saya ketahui sebagai sebuah komunitas komik dari Yogyakarta. Sedikit melihat-lihat jajaran komik yang digelar dimeja, akhirnya mata saya tertarik pada sebuah komik hitam putih yang berjudul Hantu-Hantu Kota. Keterangan yang saya dapat dari salah satu personel Mulyakarya -akhirnya kami berkenalan, namanya Yudha Sandy- bahwa buku komik yang sedang saya pegang merupakan sebuah kompilasi dari beberapa komikus dan penulis. Akhirnya saya beli tuh komik, (dalam hati saya bilang hitam putih keren abis)

Yang menarik dari kompilasi komik ini, adalah visualnya yang jauh dari bahasa rupa komik pada umumnya, misal kisah kepahlawan ala super hero dengan penggambaran tokoh yang berotot dan “gagah” tidak ditemukan disini, semua menjadi begitu unik dan liar. Komikus seperti mengajak pembaca untuk ikut dalam petualangan garis, bentuk, imaji gambar, yang mengejutkan, terkadang aneh, tapi menurut saya mengasyikkan bahkan saya merasa bahwa saya tidak harus peduli dengan isi cerita komik itu tetapi cukup tertarik pada goresan-goresan tangan yang melahirkannya Di situ terdapat komik yang goresannya mengingatkan saya pada energiknya woodcut seni grafis. Pada akhirnya komik-komik tersebut menjadi lebih dekat ke arah fine art.

Perjalanan selanjutya tiba di area diskusi.

Tema PKAN7 ini adalah KOTAKU, maka materi diskusi pada malam itu tentu saja tentanng kota dan komik, .Dalam materi diskusi yang berjudul “Membaca Ko(mik)ta” disebutkan pada kalimat pembuka bahwa kota adalah impian, karena sangat jarang ada orang yang punya cita- cita untuk ke desa. Disebutkan juga bahwa telah terjadi sentralisasi mimpi hidup ideal perkotaan merujuk pada Jakarta, yang pada kenyataannya justru semakin menuju kearah kesemrawutan, kacau. Duh jadi teringat Adhien sobat saya yang aseli Jakarta (sorry Dhien ku belum bisa lagi ke Jakarta). Tidak dapat dipungkiri bahwa apa yang terjadi di Jakarta sana bisa jadi menjangkiti kota-kota lain di Indonesia. Persoalan genting yang melanda kota-kota besar adalah tentang tempat hidup ideal yang tanpa terasa mulai hilang sehingga penghuni kota tidak bisa menikmati kota sebagai pemukiman bersama.

Komik yang sangat mengena yang menggambarkan situasi runyamnya Jakarta adalah Lagak Jakarta buatan Benny R dan Much “mice” Mizrad, kebetulan saya mempunyai beberapa serinya. Keberhasilan dari komik ini terletak dari cara penyampaian visual yang mengolok-olok tingkah laku penghuni Jakarta yang “keadaanya lucu”. Menurut Benny dan Mice komik mereka lahir dari kacaunya situasi Jakarta. Meskipun dalam kemasan yang lucu sebenarnya komik ini merupakan kerja serius. Di dalamnya terdapat proses riset. Benny dan Mice mengamati tiap sudut Jakarta lengkap dengan pernik-perniknya kemudian dituangkan dalam komik, Inilah yang membuat komik Lagak Jakarta begitu mengena.

Sebuah pertanyaan yang belum sempat saya lontarkan pada saat diskusi, karena baru kepikiran setelah diskusi itu selesai saat kaki saya mulai membawa saya bergerak menjauh dari TBJT adalah sejauh mana yach komik bisa menjadi medium penyadaran bersama atas situasi kota yang menuju keseragaman dalam hal kesemrawutannnya? atau memang medium komik katakanlah seperti Lagak Jakarta hanya akan berhenti sebatas medium representasi atas semua “kekacauan” di kota, dikarenakan tampilannya yang segar, kocak, konyol itu kemudian orang akan dengan mudah bahkan mungkin sambil tersenyum berkata “ah, dasar komik” lalu kehidupan kota besar berjalan seperti biasanya. kacau, semrawut, karena setiap orang seperti terperangkap dalam labirin kota serba membingungkan.

Sebuah tulisan dalam materi diskusi mengutip dugaan Goethe, bahwa salah satu dari sekian banyak hal yang mungkin mampu jadi perekat kultur moderen adalah komik strip. Apakah anda setuju dengan dugaan Goethe ? semua kembali kepada anda untuk menyikapi segala sesuatunya secara proporsional. Yang pasti antara membaca komik dan menggambar komik sama-sama asyik.

viva komik indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar